
Potret Buruh Perempuan Yang Sedang Bekerja Demi Melawan Kemiskinan dan Memenuhi Kebutuhan Sehari-hari.
Pernyataan World Bank (Bank Dunia) yang menyebut lebih dari 171 juta warga Indonesia tergolong miskin sempat mengundang perhatian publik. Angka ini tampak sangat jomplang jika dibandingkan dengan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Banyak yang salah paham dan mengira terjadi lonjakan besar angka kemiskinan di Indonesia. Padahal, perbedaan ini disebabkan oleh standar dan pendekatan yang digunakan masing-masing lembaga.
Data Angka Kemiskinan Menurut Bank Dunia
Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan internasional sebesar US$3,65 per hari (PPP 2017), yang jika dikonversi setara sekitar Rp17.000 per hari. Angka ini ditetapkan untuk menilai kemiskinan di negara berpendapatan menengah bawah seperti Indonesia.
Dengan pendekatan ini, Bank Dunia menyatakan bahwa sekitar 60,3% penduduk Indonesia hidup di bawah ambang batas tersebut. Artinya, secara global, lebih dari separuh warga Indonesia dikategorikan miskin.
Standar ini digunakan agar data dari berbagai negara dapat dibandingkan secara seragam dan adil. Tujuan utamanya adalah untuk menilai efektivitas kebijakan pengentasan kemiskinan dalam skala internasional.
Garis Kemiskinan dalam Perspektif Data BPS
Sementara itu, BPS memakai metode yang berbeda untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum makanan (setara 2.100 kilokalori per kapita per hari) dan non-makanan (seperti pendidikan, perumahan, dan kesehatan).
Per Maret 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp550.458 per kapita per bulan. Berdasarkan perhitungan ini, BPS mencatat angka kemiskinan nasional sebesar 8,57% dari total penduduk, atau sekitar 24 juta jiwa.
Data BPS mencerminkan kondisi lokal dan menjadi dasar dalam menyusun program pemerintah. Jadi, pendekatan BPS lebih relevan untuk kebijakan nasional dan penganggaran sosial di dalam negeri.
Perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia dan BPS bukanlah kesalahan data, melainkan hasil dari perbedaan kerangka analisis. Bank Dunia fokus pada perbandingan global, sedangkan BPS menyesuaikan dengan realitas sosial-ekonomi dalam negeri.
Keduanya sama-sama valid dan memiliki fungsi masing-masing. Masyarakat perlu memahami konteks di balik angka agar tidak keliru dalam menafsirkan data kemiskinan Indonesia.
1 memikirkan "Kok Beda? Bank Dunia dan BPS Punya Data Angka Kemiskinan Sendiri"