
Soekarno, Presiden pertama RI, kerap dipuja sebagai ikon revolusi. Tapi, benarkah sejarah menempatkan semua pemimpin secara adil?
Soekarno dielu-elukan bak lambang kemerdekaan, sementara Soeharto diingat bagai monster tirani. Inilah dekonstruksi dua tokoh besar berdasarkan fakta sejarah.
Dalam narasi sejarah bangsa, nama Soekarno dan Soeharto selalu hadir dalam dua kutub yang kontras. Soekarno sering dikenang sebagai bapak proklamator yang karismatik, sementara Soeharto tak jarang dicap diktator penuh kontroversi. Tapi, benarkah penilaian publik selama ini sepenuhnya objektif? Mungkin, Soekarno terlalu disanjung. Mungkin pula, Soeharto terlalu dihujat. Sudah waktunya melihat kembali fakta sejarah dengan kacamata yang lebih seimbang.
Penanganan Hyper Inflasi
Pemerintahan Presiden Soekarno memiliki ambisi yang tidak sesuai dengan kemampuan pada zamannya. Bank Indonesia yang semula independen diubah menjadi objek kekuasaan pemerintah. Akibatnya, kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (kalau perlu uang, cetak saja). Tak ayal, Inflasi tahun 1965 mencapai 600%.
Pada masa Soeharto, meski pemerintah berusaha menekan inflasi, angka rata-rata tetap di atas 10% per tahun. Bank Indonesia masih digunakan sebagai agent of development, mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas.
Soekarno Red Flag?
Dikenal sebagai pria flamboyan, Soekarno tercatat memiliki sembilan istri sepanjang hidupnya, baik secara resmi maupun tidak resmi. Mulai dari Fatmawati, Hartini, hingga Ratna Sari Dewi dari Jepang.
Di sisi lain, Soeharto, yang sering dikritik karena otoritarianisme di masa pemerintahannya, justru menunjukkan citra yang permanen dalam urusan rumah tangga. Sepanjang hidupnya, Soeharto hanya menikah satu kali dengan Siti Hartinah (Tien Soeharto), dan dikenal sebagai sosok suami yang setia hingga akhir hayat sang istri.
Dua Wajah Politik, Menang Mana?
Dalam lanskap politik, Soekarno dan Soeharto memainkan dua permainan yang berbeda. Pada masa pemerintahan Soekarno, konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) berusaha menyatukan ideologi-ideologi bangsa dari berbagai parpol, tak terkecuali komunisme dan PKI.
Sebaliknya, Soeharto membatasi peran partai politik secara ketat dan merestrukturisasi sistem politik menjadi hanya tiga partai utama di bawah sistem fusi politik. Pemerintahannya dikenal keras, dengan sejumlah aksi militerisme, khususnya bagi mereka sisa-sisa komunisme dan orang-orang yang dinilai mengancam stabilitas keamanan Negara.
Soekarno & Soeharto: Bukan Siapa Lebih Baik, Tapi Apa yang Terjadi
Sejarah tidak selalu bicara tentang siapa yang paling benar, paling hebat, atau paling salah. Kadang, sejarah hanya ingin didengar ulang, apa yang terjadi, bagaimana bisa terjadi, dan kenapa itu penting untuk tidak dilupakan.
Soekarno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
Fakta sejarah disajikan untuk dipelajari; tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan salah satu pihak, melainkan untuk menjadi bahan pembelajaran.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”